Tari Tradisional Sulawesi Tenggara

Tari Tradisional Sulawesi Tenggara

Pendahuluan: Tari Tradisional Sulawesi Tenggara

Dreamhub – Tari Tradisional Sulawesi Tenggara. Indonesia memiliki banyak sekali jenis budaya yang berbeda. Misalnya, tarian daerah di setiap provinsi sangat berbeda satu sama lain. Sulawesi Tenggara merupakan tempat di mana banyak sekali tarian daerah yang berbeda dapat Anda temukan. Selain terkenal dengan kekayaan alamnya, Sulawesi Tenggara memiliki banyak sejarah dan budaya. Salah satunya adalah melalui sejarah dan masyarakatnya yang memiliki berbagai tarian.as.

Tari Tradisional Sulawesi Tenggara

Tari Umoara

Umoara merupakan tarian yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Pada masa kerajaan, melakukan tarian ini untuk mengiringi para prajurit kerajaan Mekongga dan Konawe saat berangkat dan pulang perang. Tarian ini kini hanya melakukannya untuk menyambut tamu atau menandai peristiwa penting.

Tarian ini biasanya hanya dua hingga tiga orang pria yang melakukannya. Para prajurit di medan perang mengenakan pakaian seperti peci kain merah, baju kulit tebal, dan celana selutut. Seperti itulah pakaian yang para penari Umoara kenakan.

Tarian Balumpa

Tari Balumpa berasal dari daerah Binongko dan Buton di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tari ini memiliki cerita tentang sekelompok gadis yang bernyanyi dan bergerak dengan penuh kegembiraan.

Musik dan vokal tradisional gambus sering memainkannya bersama Tari Balumpa selama pertunjukan. Biasanya, lagu-lagu daerah dengan tema gembira dan penyambutan memainkannya untuk mengiringi tarian ini.

Penari biasanya mengenakan pakaian adat Sulawesi Tenggara. Pakaian ini memiliki lengan pendek dan kain panjang. Biasanya, Tari Balumpa hanya kelompok yang terdiri dari enam hingga delapan wanita yang melakukannya.

Tari Balumpa biasanya melakukannya untuk menyambut tamu penting yang datang ke daerah tersebut. Tari ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat merasa bersyukur dan senang jika ada tamu. Selain itu, tarian ini juga orang tampilkan di berbagai acara dan pertunjukan. Hal ini sebagai upaya melestarikan dan mengajarkannya kepada generasi muda dan masyarakat luas. Berbagai kreasi dan variasi gerakan yang orang pada Tari Balumpa agar lebih menarik.

Tari Mangaru

Tari Mangaru ini sudah ada sejak lama masyarakat Buton gemari. Adapun tari ini istimewa karena menggunakan keris yang memainkannya dengan kedua tangan. Masyarakat menganggap kedua penari ini sangat kuat secara mental dan fisik. Kopiah merupakan bagian dari pakaian adat Wolio yang para penari pakai. Mengiringi tari ini dengan alunan musik gendang.

Tari Lariangi

Lariangi merupakan tarian lama yang berasal dari Kepulauan Wakatobi.

Lari dan angi merupakan dua bunyi yang membentuk “Lariangi”. “Lari” berarti melukis atau mengukir, dan “Angi” berarti orang yang menghiasinya dengan berbagai macam ornamen untuk memberi informasi, memberi nasihat, atau membuat orang tertawa dengan gerakan tari dan lagu.

Tari ini kemungkinan sudah ada sejak tahun 1634, yaitu pada masa pemerintahan Kesultanan Buton. Dahulu, Lariangi memainkannya di istana raja, yang merupakan cara bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Tari Lariangi sangat mirip dengan Tari Tayub di Jawa dalam pertunjukannya. Di mana para penari wanita memberikan selendang kepada para pria yang datang. Karena memberikannya selendang, para pria harus menari bersama para wanita tersebut. Tentu saja mereka juga membayar para penari.

Sebelum dan sesudah Gerakan Tari Lariangi, selalu mengucapkan kata-kata “le…le…”. Dengan kata lain, Tari Lariangi siap untuk dilakukan, dan sebaliknya. 

Pertunjukan Tari Lariangi berlangsung selama sepuluh menit. Sepuluh wanita cantik bernyanyi dan menari. Sebagian besar tarian ini melakukannya dengan duduk dan berputar-putar sambil mengayunkan lenso atau kipas.

Tari Kalegoa

Kalegoa merupakan sapu tangan ritual berbentuk segitiga yang gadis-gadis yang sedang sendiri lakukan.Menghiasi tari ini dengan ornamen tradisional daerah tersebut. Tari ini menunjukkan kegembiraan dan kesedihan para gadis Buton yang sedang menjalani adat Posuo (pengasingan).

Di tempat yang sunyi ini, para tetua memberikan nasihat kepada mereka tentang bagaimana cara tumbuh dan menjadi gadis dewasa di rumah mereka.

Tari Mondinggu

Salah satu tarian klasik dari Sulawesi Tenggara adalah Tari Modinggu. Tari rakyat dari Suku Tolaki, tarian ini menunjukkan bagaimana perasaan masyarakat dan apa yang mereka lakukan saat musim panen, terutama saat panen padi.

Tari Mondinggu biasanya dibawakan oleh penari pria dan wanita yang berpakaian seperti petani masa lalu.

Tarian ini sangat populer di masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara. Adapun tari ini sering ditampilkan pada pesta panen, upacara penyambutan, pesta hari besar, festival budaya, dan acara lainnya.

Tari Masambakai 

Tari Mesambakai merupakan tarian khas Sulawesi Tenggara lainnya. Situs web kami, Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara, menyebutkan bahwa tarian ini merupakan tarian tradisional dari Mekongga.

Tarian ini biasanya ditarikan oleh sembilan penari: tujuh perempuan, satu laki-laki, dan satu laki-laki. Alat musik tradisional dimainkan sebagai pengiring tarian.

Secara filosofis, Tari Adat Mekongga Mesambakai merupakan upacara syukur atas kelahiran anak pertama. Tujuannya adalah untuk menguatkan dan mendukung kelahiran.

Konon, adat ini pertama kali dilakukan pada tahun 1600-an, pada masa pemerintahan Sangia Lamba-Lambasa. Saat itu, ia menyelenggarakan adat Mesambakai untuk putranya, Sangia Lomba-Lomba. Sejak lahir hingga berusia dua tahun, seluruh tubuhnya lemah, seperti tidak memiliki tulang.

Sebagai anak dari Wasasi Wasabenggali, seorang dukun sakti pernah bermimpi bahwa Putra Raja bisa sehat dan kuat kembali jika upacara Mesambakai dilaksanakan. Ketika Raja Lamba-Lambasa mendengar pesan tersebut, ia pun berpesan kepada semua orang untuk bersiap-siap mengikuti prosesi tahunan Mesambakai.

Tradisi Mesambakai menggunakan gerakan-gerakan yang dinamis beserta gerakan Lulo dan Pencak untuk mengusir roh jahat yang mengganggu Putra Mahkota. Berkat gerakan tersebut, tubuh Sangia Lombo-Lombo langsung menjadi kuat dan sehat setelah acara Mesambakai.

Tari Lulo

Masyarakat sekitar akan mengawali prosesi adat Mosehe Wonua dengan tarian adat. Masyarakat sekitar menyebut tarian ini sebagai Tari Lulo Sangia.

Tari ini dibawakan oleh tujuh hingga sembilan orang wanita berpakaian adat. Setiap langkah memiliki makna tersendiri. Gong, alat musik tiup tradisional, dimainkan seirama dengan tarian ini.

Tari Lulo Sangia pada masa lampau merupakan salah satu cara masyarakat untuk berdoa kepada Tuhan agar raja dan pemimpin lainnya diberikan kesehatan atau kesembuhan ketika sakit.

Pada masa pemerintahan Raja Sangia Teporambe di tahun 1600-an, Tari Lulo Sangia pertama kali muncul. Konon, Sangia Teporambe yang saat itu sedang memimpin pemerintahan Kerajaan Mekongga, sudah lama sakit dan tidak ada seorang pun yang mampu menyembuhkannya.

Pada suatu hari, seorang tabib bermimpi. Dalam mimpi sang tabib, Sangia Teporambe akan cepat sembuh jika ia mandi dengan air laut yang dicampur dengan air tawar dan bunga dari laut maupun darat.

Tabib tersebut kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada seorang tetua dari Desa Puuehu yang bernama Wasasi Wasabenggali. Ucapan tabib tersebut kemudian disampaikan kepada keluarga Raja Teporambe oleh Wasasi Wasabenggali. Setelah mendengar cerita tersebut, sang raja pun bersiap untuk mandi.

Masyarakat mengucapkan terima kasih kepada Raja Teporambe, dan ia pun menunjukkan kebahagiaannya dengan Tari Lulo Sangia. Tari ini dipentaskan selama tujuh hari berturut-turut.

Salah satu tarian kuno masyarakat Kendari adalah Tari Lulo. Karena adanya perubahan budaya, tarian ini tetap lestari, tetapi kini memiliki fungsi yang berbeda.

Pada awalnya, Tari Lulo merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Dewi Padi, khususnya setelah panen.

Kata “lulo” berarti menginjak tumpukan padi untuk memisahkan bulir padi dari tangkainya. Dengan demikian, Tari Lulo merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang berasal dari pertanian.

Namun, Tari Lulo kini tidak lagi dipentaskan sebagai tradisi saat hari raya panen. Tari Lulo kini telah menjadi bentuk hiburan bagi masyarakat Kendari pada acara pernikahan, pesta ulang tahun, dan awal tahun baru. 

Kesimpulan: Tari Tradisional Sulawesi Tenggara

Sebagai warisan budaya yang kaya dan penuh makna, Tari Tradisional Sulawesi Tenggara menjadi jembatan antara generasi masa lalu dan masa kini. Melalui gerakan yang anggun dan irama musik yang khas, tarian ini tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan cerita tentang identitas dan kebanggaan masyarakat Sulawesi Tenggara. Melestarikan tarian tradisional adalah bentuk penghormatan terhadap budaya leluhur sekaligus upaya memperkaya seni budaya Indonesia di mata dunia. Mari kita terus mendukung pelestarian Tari Tradisional Sulawesi Tenggara agar keindahannya tetap abadi dan bisa dinikmati oleh generasi mendatang!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *