Review Film Lembayung: Menyoroti Sensivitas Pengemasan Kekerasan Seksual pada Layar Lebar

DreamHub.id – Jakarta – Film horor Lembayung merupakan debut layar lebar Baim Wong sebagai sutradara, dimulai dengan menawarkan pengalaman visual yang mana memukau melalui teknik color grading yang digunakan mengupayakan atmosfer menegangkan di film. Pemakaian palet warna yang tersebut cenderung gelap dan juga suram menguatkan suasana horor—efek kontras yang mana tajam juga menambah intensitas setiap adegan film.

Penampilan Memuaskan dari Para Pemeran Lembayung

Akting Yasamin Jasem sebagai Arum dan juga Taskya Namya sebagai Pica patut diacungi jempol. Keduanya berhasil menghadirkan karakter merekan larut pada plot film, serta menjadikan karakter mereka itu sangat hidup di dalam layar. Terutama Yasamin yang digunakan sukses menunjukkan kemampuan akting yang tersebut menggambarkan ketegangan juga ketakutan yang dialami Arum sebagai korban pelecehan seksual.

Di sedang ketegangan, film ini juga menyelipkan unsur komedi yang dimaksud segar, salah satunya melalui penampilan Asri Welas. Adegan komedi sekilas juga menjadi penyegar suasana serta berhasil mengundang tawa dari seluruh bioskop. Penampilan Anna Jobling sebagai hantu perempuan juga patut mendapat pujian, dengan kemampuan akting yang menghadirkan kengerian. Akting Arya Saloka juga memuaskan. Meski ini merupakan debut film horornya, namun ia sukses membawakan peran ‘plot-twist’ serta menghadirkan sisi psikopat pada tokoh.

Kritik terhadap Audio Jumpscare dan juga Plot

Tidak semua aspek film ini bebas dari kritik. Salah satu kekurangan di film ini adalah pemakaian audio jumpscare yang dimaksud seringkali terlalu keras. Meskipun merupakan elemen penting di film horor, ukuran audio yang mana berlebihan justru mengganggu pengalaman menonton juga menghurangi efektivitas ketegangan yang digunakan dibangun oleh gambar juga cerita yang dimaksud seharusnya tercipta dari suasana film.

Perihal plot, Lembayung terinspirasi dari utas merebak yang mana ditulis akun @saturnrushx di area media sosial X berjudul ‘Jin Poli Gigi’. Utas yang dimaksud tentang dua siswa yang mana berada dalam menjalani kegiatan magang di dalam sebuah klinik gigi dalam Yogyakarta, yang kemudian dihadapkan pada kumpulan kejadian mistis pasca kedatangan seseorang pasien misterius. Namun, dikarenakan film Lembayung merupakan adaptasi, tentu cuma plot dibuat sedikit berbeda.

Namun, unsur thriller dan juga drama di Lembayung tetap memperlihatkan cukup menonjol. Adegan-adegan berdarah kemudian ketegangan psikologis berhasil menciptakan pengalaman menegangkan yang dimaksud mencekam. Meskipun thriller film ini cukup efektif, sisi drama yang mana disajikan juga tak kalah kuat, menyentuh perasaan penonton dengan kisah dari masing-masing tokoh di film.

Refleksi Sensitivitas Kasus Pelecehan Seksual di dalam Layar Lebar

Kritik utama terhadap Lembayung adalah penggambaran pelecehan seksual tanpa adanya trigger warning di film. Hal ini sanggup menjadi pengalaman menonton yang dimaksud cukup menyesakkan, teristimewa dengan adanya konteks pelecehan seksual yang tersebut cukup eksplisit di film. Meskipun Lembayung adalah karya fiksi, adegan-adegan yang dimaksud terasa bukan nyaman untuk ditonton, baik oleh perempuan maupun laki-laki.

Kemudian, di dalam akhir film juga disuguhkan backstory tokoh penjahat utama yang digunakan menggambarkan trauma masa kecil pelaku, yang digunakan berpotensi menurunkan nilai film. Adegan-adegan tersebut, meskipun dimaksudkan untuk menambah kedalaman cerita, justru terkesan menyajikan cerita dari sudut pandang pelaku pelecehan seksual juga menciptakan kesan fokus cerita beralih dari korban ke pelaku. 

Poin yang dimaksud bisa jadi mengaburkan arahan moral yang digunakan ingin disampaikan, sebab penting untuk menyadari bahwa kesadaran akan persoalan hukum pelecehan seksual sangat relevan ketika ini. Skenario film Lembayung yang tersebut ditulis oleh Gemati Rahayu juga Baim Wong, tampaknya kurang menggali prospek diskusi kritis terkait perkara pelecehan seksual yang digunakan semakin marak. Dalam menulis skenario, penulis tak cuma menyajikan sisi kreatif, namun juga harus menyuguhkan sumbangan konstruktif di nilai-nilai sosial film, khususnya apabila merepresentasikan isu sensitif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *