DreamHub.id – JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sudah pernah sukses digelar. Ketegangan akibat pilihan kebijakan pemerintah pada pilkada mestinya juga mereda. Untuk itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unindra menggerakkan rekonsiliasi kebangsaan.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unindra PGRI Jakarta, Abdul Wahid Khaliki menilai, proses urusan politik lima tahunan tidaklah boleh menjadi ruang perpecahan lalu disintegrasi di masyarakat.
Wahid menyinggung persoalan maraknya polarisasi yang tersebut berujung permusuhan akibat pilihan politik. Menurutnya, konflik dukungan kebijakan pemerintah yang dimaksud terus meruncing akan berdampak pada harmonisasi keberadaan masyarakat, utamanya di area kalangan akar rumput.
“Pilkada adalah instrumen demokratis untuk memilih pemimpin, tidak event untuk memupuk permusuhan lalu disintegrasi. Perbedaan pilihan urusan politik tiada boleh menjadi alasan untuk menghilangkan keakraban juga persaudaraan, teristimewa pasca pagelaran Pilkada,” ujar Wahid, Awal Minggu (9/12/2024).
“Kita semua mesti paham, pilkada semata-mata karnaval demokrasi yang mana mempertarungkan ide-gagasan, sementara kualitas demokrasi ditentukan oleh kohesi sosial yang digunakan terbangun, keakraban warga negara, dan juga rekonsiliasi, termasuk pada Jakarta,” sambung aktivis HMI itu.
Wahid menyebut, Indonesia pernah berada pada kubangan disintegrasi akut akibat pilihan urusan politik pada pemilihan gubernur DKI Ibukota 2017. Konflik politik, kata dia, berlanjut menjadi konflik sosial yang digunakan justru menyuburkan praktik fitnah, polarisasi ekstrem, hingga permusuhan.
“Kita pernah mengalami efek kebijakan pemerintah pecah-belah itu bertahun-tahun. Hari ini, kita mesti lebih besar dewasa menyikapi kompetisi urusan politik elektoral. Perbedaan pilihan urusan politik adalah kelaziman demokratis yang dimaksud tiada perlu berlarut. Setelah pilkada, semua warga negara adalah saudara,” terang Wahid.
Menurut Wahid, provokasi dan juga agitasi adalah musuh demokrasi yang dimaksud mesti diperangi. Tidak hanya saja dalam dunia nyata, ujaran fitnah serta kebencian akibat pilihan kebijakan pemerintah juga menyebar dalam linimasa media sosial. Akibatnya, ketegangan antarpendukung kandidat terus menguat.