Putusan MK: TNI/Polri juga Pejabat Daerah Bisa Dipidana apabila Tak Netral di area pada Pemilihan Kepala Daerah

DreamHub.id – JAKARTA – Anggota TNI/Polri serta pejabat negara bisa jadi dipidana jikalau tak netral pada pemilihan kepala wilayah (pilkada). Hal yang dimaksud berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tersebut mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, juga Wali Daerah Perkotaan terhadap UUD 1945.

MK di putusannya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 188 UU 1/2015 sebagaimana sudah diubah oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 serta tak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali jikalau dimaknai, “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/Polri, dan juga Kepala Desa atau sebutan lainnya/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00”.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024 disitir dari laman resmi MK, Kamis (14/11/2024).

Mahkamah menyatakan ketentuan norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan otoritas Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, serta Wali Perkotaan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 T Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) sebagaimana sudah pernah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, lalu Wali Daerah Perkotaan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

MK juga menyatakan normal pasal itu tak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang bukan dimaknai, “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/Polri, juga Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang mana dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000 atau paling banyak Rp6.000.000,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukum yang dimaksud disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menyatakan konsep penyelenggaraan negara yang tersebut didasarkan menghadapi hukum juga jaminan berhadapan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana termaktub di Pasal 1 ayat (3) lalu Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menempatkan aturan hukum tertoreh (perundang-undangan) sebagai salah satu hal yang tersebut pokok. Opini demikian sejalan dengan pendapat Satjipto Raharjo yang digunakan menyatakan, “kepastian hukum merupakan hasil hukum atau lebih lanjut khusus lagi peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, begitu datang hukum, maka datanglah kepastian.”

Meskipun undang-undang yang tersebut baik tak cukup hanya saja memberikan kepastian hukum, namun juga harus memberikan keadilan lalu kemanfaatan untuk seluruh warga masyarakat. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mana baik membutuhkan keterlibatan dan juga partisipasi berbagai pihak juga harus dengan mengacu pada prinsip keadilan, kepastian, juga kemanfaatan agar item hukum yang digunakan dihasilkan berperan secara baik serta efektif di menciptakan tatanan hukum yang digunakan berkeadilan, tidak ada diskriminatif serta melindungi hak-hak publik di suatu negara hukum.

Oleh akibat itu, sambung Arief, merupakan suatu keharusan untuk memformulasikan norma hukum yang dimaksud dibuat secara jelas, konsisten, harmonis, sinkron lalu mudah dipahami juga bukan membuka ruang multitafsir pada penyusunannya dan juga tidaklah mengakibatkan ambigu pada implementasinya. Keharusan yang disebutkan sekaligus menjadi prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan yang tersebut baik, yang digunakan apabila diringkas menjadi prinsip konsisten, koheren, harmonis, sinkron, kemudian berkorespondensi antara aturan hukum yang mana dibuat dengan aturan yang tersebut secara hierarki berada dalam atasnya, antara aturan yang dibuat dengan peraturan perundang-undangan lainnya pada satu hierarki maupun antara aturan hukum yang digunakan satu dengan aturan hukum yang secara hierarki ada di tempat bawahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *