DreamHub.id – JAKARTA – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyelenggarakan The 6th International Conference on Law and Governance in a Global Context (icLave) 2024. Kongres ini mengangkat banyak isu penting terkait hukum serta kebijakan masyarakat internasional, salah satunya mengenai hambatan yang tersebut dihadapi sektor otomotif Tanah Air.
Dalam konferensi tersebut, Dosen FEB Universitas Indonesia Mone Stepanus; Dosen Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan (UPH) Dian Parluhutan; serta Dosen Fakultas Kondisi Keuangan juga Bisnis UPN Veteran DKI Jakarta Guntur Saragih, memaparkan kajian ilmiah terkait apa sekadar yang tersebut menghambat bidang otomotif. Salah satu pokoknya terkait perjanjian eksklusivitas.
“Penting bagi kami mengangkat perjanjian ekskluvitas ini di forum internasional untuk menunjukkan kondisi persaingan usaha di area Indonesia yang digunakan membutuhkan perhatian lebih lanjut dari pemerintah serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” kata Mone Stepanus di keterangannya, Hari Jumat (8/11/2024).
Jika perjanjian yang dimaksud masih diterapkan, menurut Mone, risikonya adalah kurang kondusifnya iklim persaingan bidang usaha dan juga mungkin saja sekadar menghalangi pemain baru untuk berinvestasi juga memasuki lingkungan ekonomi otomotif di area Indonesia.
Industri otomotif di dalam Indonesia didominasi oleh lima produsen besar, yakni Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, juga Mitsubishi Motors. Mereka telah terjadi menguasai 82,3% dari total produksi nasional. Mone menjelaskan, lapangan usaha otomotif Indonesia menghadapi tantangan.
“Ada berbagai kondisi sudah memicu penerapan praktik monopoli atau oligopoli, baik melalui perjanjian vertikal maupun horizontal antar produsen,” ujarnya.
Mone menyebutkan tidak hal yang digunakan aneh bagi produsen mobil untuk terlibat pada perjanjian horizontal maupun vertikal dengan tujuan untuk mendominasi pasar.
“Perjanjian vertikal merupakan perjanjian yang mana dibuat oleh perusahaan induk berdasarkan tempat asal, seperti Toyota dari Jepang, yang menciptakan perjanjian dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) pada Indonesia, yaitu PT Astra International,” katanya.
Selain itu, juga ada fenomena agen tunggal pemegang merek (ATPM) mengadakan perjanjian eksklusivitas dengan dealer dalam bawahnya. Menurutnya, ini salah satu trik untuk untuk meningkatkan ukuran pemasaran mobil tertentu. “Di sisi lain ada yang dimaksud perlu diwaspadai, sebab perjanjian eksklusivitas ini menimbulkan dealer susah untuk mengembangkan bisnisnya,” ucapnya.
Dian Parluhutan menambahkan bahwa meskipun lapangan usaha otomotif dianggap sebagai sektor strategis, terdapat risiko yang digunakan muncul dari praktik perjanjian eksklusivitas yang tersebut tiada sehat. Tidak jarang distributor menyebabkan perjanjian eksklusivitas dengan dealer yang mana mewajibkan dealer untuk meminta-minta izin terhadap distributor jikalau mendirikan perusahaan baru jual item otomotif merek lain. Dengan kata lain, penanam modal dilarang mengirimkan merek lain, padahal dengan mendirikan badan perniagaan baru yang mana tidaklah berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual pemegang merek ataupun distributor.