DreamHub.id – Jakarta – Sebanyak 18 belas pemuda dari berbagai negara berkolaborasi dengan puluhan pemuda Indonesia menampilkan kebolehan mereka itu di area acara The Showcase: Residensi Pemajuan Kebudayaan 2024 akhir pekan lalu, Sabtu, 31 Agustus 2024. Berlangsung di tempat halaman Taman Fatahillah, Kawasan Pusat Kota Tua Jakarta, merekan menampilkan hasil karya hasil residensi obyek budaya di dalam tiga kota di tempat Indonesia.
Residensi Budaya di area 3 Kota
Sebelumnya mereka melakukan residensi untuk tiga obyek pemajuan kebudayaan yakni Tari Topeng Losari, Cirebon, Musikalisasi Pantun serta Tradisi Lisan, Pekanbaru, lalu Olahraga Tradisional Jemparingan, Yogyakarta. Di Riau yang tersebut terbagi menjadi empat grup telah dilakukan memunculkan karya kolaborasi musikalisasi dari tradisi lisan melalui karya-karya musikal.
Grup pertama menampilkan “Utopiallity Vol.1” yang merupakan karya musik elektro-akustik eksperimental. Karya ini merespon tradisi lisan dari cerita rakyat “Sibongsu dan juga Sicuriang” yang dimaksud berasal dari Rokan Hulu, Riau. Sebuah cerita yang merepresentasikan kisah cinta sejoli yang penuh magis lalu tragedy. Komposisi musik yang ditampilkan menggabungkan unsur-unsur tradisi lisan setempat seperti Koba, Bagandu, Badandong, lalu Malalak.
Sedangkan grup dua menampilkan komposisi elektro akustik disajikan secara ansambel berjudul “The Sansuduong”. Komposisi ini menggunakan soundscape yang menekankan suasana menghadapi penghayatan alam dalam Kampar. Basis skalanya dipengaruhi oleh tradisi lisan Baghandu, Melalak, lalu serta Badandong.
Sementara grup tiga menampilkan karya berjudul “Methaphysical Riverside” yang dimaksud menginterpretasi keberagaman sastra lisan di area Kampar sebagai bagian dari spiritualitas masyarakatnya. Sastra lisan ini ada, yang digunakan terlampir di Sastra Kuno Gurindam 12 pada rangkap 7. Komposisi berjudul “Bonsu” merekonstruksi bentuk struktur musical pada bentuk trilogi yang ditampilkan oleh grup empat.
Peserta residensi unjuk kebolehan di tempat Museum Fatahillah, Kawasan Perkotaan Tua Jakarta. Foto: Istimewa/Kemendikbud.
Dari kelompok residen di area Losari Cirebon, para pelaku asing ini menampilkan “Tarian Agung dari Losari.” Karya ini merupakan museum hidup yang mana diungkapkan melalui tarian Tari Klana Bandopati dan juga Tari Gonjing, video, kemudian buku. Tarian yang mana ditampilkan yaitu Tari Klana Bandopati kemudian Tari Gonjing. Para partisipan residensi ini mengabadikan proses residensinya melalui video lalu buku yang tersebut berisi pengumpulan data juga infografis tentang budaya Losari melalui Tari Topeng Losari.
Dari kelompok residensi dalam Yogyakarta, para kontestan menampilkan pengembangan olahraga tradisional Jemparingan melalui karya teatrikal yakni “Manah Jemparingan.” Anggota juga mengatur pameran yang digunakan mengangkat Jemparingan bertema “Pameran Olahraga dan juga Olahrasa.”
Para kontestan dari di negara lain umumnya senang dan mendapatkan sejumlah pengalaman, menjalani residensi di dalam berbagai lokasi juga obyek kebudayaan. Seperti disampaikan Denny Donius dari Sabah Tanah Melayu serta Rattana dari Thailand. “Ini pertama kali saya belajar menari topeng. Sebuah pengalaman yang sangat berharga. Saya merasa kesulitan pada awalnya untuk menyesuaikan aksi dan juga energi saya,” ujar Rattana, terhadap Tempo. Ia merupakan penari Thailand yang tersebut selama 20 tahun lebih banyak belajar tarian tradisi dengan aksi sangat pelan kemudian lembut. Hal ini berbeda dengan tarian topeng Losari yang dimaksud sangat enerjik dan juga cepat.
Hal senada juga diungkapkan Denny.” Spektakular, bisa jadi mendapatkan pengetahuan tentang tari ini. Cukup baru bagi saya, sangat menarik. Saya masih menyesuaikan energi saya untuk menari topeng,” ujarnya.
Peserta residensi budaya unjuk kebolehan di dalam Museum Fatahillah. Foto: Istimewa| Kemendikbud.
Tantangan Selama Ikut Residensi Budaya
Tantangan untuk menyesuaikan budaya, memahami filosofi juga praktik berlatih memanah di kedudukan duduk juga dialami oleh Ilse, pelaku budaya dari Meksiko. Seniman yang mana sekarang ini tinggal dalam Amerika Serikat ini mengaku mengalami gegar budaya ketika menyesuaikan diri sebagai orang asing, dari budaya blak-blakan untuk tinggal bersatu orang Jawa yang mana lebih lanjut tertutup.
Dia merasa residensi ini terlalu cepat untuk mempraktikkan apa yang digunakan telah dipelajari. “Pengalaman ini sebuah perjalanan, Tapi saya belajar sejumlah di tempat negara yang beragam budaya, mempelajari filosofi Jawa di olahraga Jemparingan, cara hidup orang Jawa,” ujarnya.
Direktur Pembinaan Tenaga juga Lembaga Kebudayaan, Kemendikbudristek Restu Gunawan mengatakan, aspek pembinaan terhadap Benda Pemajuan Kebudayaan (OPK) merupakan hal penting di mengembangkan obyek kebudayaannya. ”Lahir karya kreasi baru atau bentuk lainnya dari hasil residensi atau pembelajaran intensifnya bersatu pelaku budaya,” kata Restu Gunawan. Ia juga meminta rakyat yang digunakan hadir di tempat Pusat Kota Tua untuk mencintai kebudayaan tradisi kemudian mengambil bagian mengembangkannya.
Para pelaku budaya asing ini antara lain berasal dari Malaysia, Thailand, Meksiko, Australia, Italia, India, Kanada, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Belanda, Kolombia, India, Ekuador, Yunani, Mesir, Filipina, Yordania, lalu Polandia. Mereka berkolaborasi dengan 30 residensi nasional serta 23 lokal.